Sore itu,hujan baru saja berhenti menyirami bumi, dibarengi dengan dentingan jam dinding besar di sudut ruang tengah sebanyak empat kali. Monica masih duduk terpaku di depan jendela kamarnya. Matanya tertuju pada daun-daun tanaman hias ibunya yang masih basah akibat guyuran hujan beberapa menit yang lalu. Namun, pikirannya jelas bukan berada pada daun-daun itu. Ia masih merenung, seperti apa yang sering ia lakukan beberapa hari ini. Sambil memeluk boneka anjing kuning kesayangannya, ia bergumam, “Semuanya semu.”
Setengah jam kemudian, Monica bangkit dari tempat duduknya. Ia memutuskan untuk segera mandi. Ia berharap segala kerisauan yang dirasakannya dapat hilang, mengalir bersamaan dengan air yang mengguyur tubuhnya. Tetapi, kenyataannya sungguh sangat bertolak belakang. Semakin ia berusaha mengenyahkan segala perasaan galau di hatinya, semakin merasuk ke dalam perasaan itu. Seakan-akan perasaan itu tidak mau lepas dari hatinya dan semakin membelenggunya. Tiba-tiba, “Monica, sudah hampir satu jam kamu di kamar mandi. Ayo cepat keluar, nanti kamu masuk angin!”, terdengar suara ibu Monica yang membuyarkan lamunannya. “Iya, Ma. Sebentar lagi Monica selesai.”, sahutnya. Monica segera menyelesaikan mandinya.
Malam pun tiba. Usai sholat Maghrib, Monica mengurung diri di kamarnya. Ia berbaring di tempat tidur dan memeluk boneka anjingnya sambil menatap kosong langit-langit kamar. Ia memang sengaja tidak belajar, karena besok hari libur, jadi ia memutuskan untuk bersantai. Ia juga tidak berminat makan malam. Kejadian dua hari yang lalu memang benar-benar menyita pikiran dan perasaannya. Ia masih ingat betul apa yang dikatakan Sassy, salah satu temannya di kelas, saat bercerita tentang arti sahabat baginya. “Sahabat itu sangat penting dan berarti bagiku. Sahabat itu susah dicari dan susah didapat. Kadang, saat kita merasa seseorang itu sahabat kita yang paling berarti, dia tiba-tiba pergi, dan kita sadar dia ternyata bukan sahabat sejati kita.”, begitu katanya. Saat itu juga, Monica terdiam. Ia tertegun, tapi membenarkan kata-kata Sassy dalam hatinya. Ia berpikir dan bertanya dalam hati, “Kemanakah sahabat-sahabatku yang dulu?”. Kemudian pikiran Monica kembali melayang.
Setahun yang lalu, di sebuah cafe, Monica, Ellina, Rosy, Mandy, dan Finza duduk berkumpul di salah satu sudut cafe. Sambil menikmati makanan, mereka saling bercakap-cakap. “Nggak terasa, ya, kita bersahabat sudah hampir satu tahun. Sebentar lagi kita lulus SMP.”, Rosy membuka obrolan. “Iya, semoga kita berlima diterima di SMA yang sama. Aku nggak mau pisah sama kalian.”, Monica menimpali. “Tenang aja, Mon. Kita ngak mungkin pisah.”, kata Mandy menenangkan. Mandy memang sahabat yang paling dekat dengan Monica. Mereka bahkan sudah berteman sejak SD. “Iya, kita pasti bisa diterima di SMA yang sama.”, Ellina menambahkan. Ellina adalah sahabat kedua yang paling dekat dengan Monica setelah Mandy. Finza yang sedari tadi hanya diam, akhirnya tersenyum dan memandang satu persatu sahabatnya. Entah apa yang ada dipikirannya. Sahabat Monica yang satu ini memang tak suka banyak bicara. Menurut Monica, Finza mempunyai jalan pikiran yang misterius dan tak pernah bisa diduga-duga. Kemudian, mereka melanjutkan makan siang mereka sambil bertukar cerita dan tertawa-tawa. Ini yang selalu disukai Monica. Ia selalu merasa tenang dan senang saat berada di tengah sahabat-sahabatnya. Mereka semua baik, perhatian, dan peduli satu sama lain. Mereka juga saling menyayangi dan saling mengisi di kala suka dan duka, setidaknya itu yang Monica yakini.
Tetapi kini kenangan-kenangan persahabatan yang indah itu, sepertinya memang hanya akan menjadi kenangan dalam hati saja. Monica tahu segalanya berubah. Segalanya tentang persahabatannya dengan Ellina, Rosy, Mandy, dan Finza. Monica bahkan tidak yakin apakah persahabatan itu masih ada atau tidak, apakah keempat sahabatnya itu masih menganggapnya sahabat atau tidak. Monica benar-benar terpukul dengan kenyataan itu.
Mereka berlima memang diterima di SMA yang sama, namun mereka sama sekali tidak ada yang sekelas. Tidak seperti waktu SMP dulu. Mereka sekelas dari kelas VII sampai kelas IX. Awalnya, Monica tetap yakin bahwa persahabatannya akan berjalan baik-baik saja. Mereka hanya dipisahkan kelas dan itu sama sekali bukan halangan untuk bisa tetap saling bersahabat. Tetapi sepertinya pikiran dan harapan Monica itu mulai luntur.
Dimulai dari kenyataan bahwa Ellina mulai menjauh dari Monica, Rosy, Mandy, dan Finza. Ellina sepertinya telah menemukan kehidupannya sendiri bersama dengan teman-teman baru di kelasnya. Ia sepertinya menemukan sahabat baru yang lebih berharga dari sahabat-sahabatnya yang dulu.
Kenyataan kedua, Mandy ternyata diterima di kelas akselerasi yang hanya membutuhkan waktu dua tahun untuk menamatkan SMA. Ini berarti Mandy akan sangat atau bahkan terlalu sibuk untuk belajar, belajar, belajar dan belajar. Dan benar saja, Mandy sekarang juga sudah jarang berkomunikasi dengan Monica dan sahabat-sahabatnya yang lain. Ia bahkan lebih akrab dengan teman sekelasnya. Mungkin ia juga sudah menemukan sahabat yang baru, sama seperti Ellina. Entahlah, Monica tidak mengerti.
Kenyataan ketiga, Finza berusaha menarik diri dari persahabatan yang sudah dibina hampir dua tahun ini. Dia sepertinya terlalu sibuk dengan ekstrakurikulernya. Monica tidak mengerti apa alasannya. Jalan pikiran Finza memang tidak pernah bisa ditebak. Yang Monica tahu hanya satu. Ia kehilangan salah satu sahabatnya lagi.
Kenyataan keempat, Rosy yang memang tidak terlalu dekat dengan Monica menjadi semakin jauh juga. Dia disibukkan dengan ekstrakurikulernya, sama seperti Finza.
Kenyataan terakhir dan terpenting yang mau tidak mau harus diakui dan dihadapi dengan lapang dada adalah kenyataan bahwa Monica kehilangan sahabat-sahabatnya. Sahabat-sahabat yang amat sangat disayanginya. Kenyataan yang membuat hatinya benar-benar perih dan sakit. Ia menyadari bahwa ia tidak punya lagi sahabat. Tidak ada lagi tempat baginya untuk curhat dan berbagi kesenangan ataupun kesedihan. Semuanya hilang dan lenyap tak berbekas.
Tiba-tiba terdengar bunyi handphone yang membuyarkan lamunan panjang Monica. Rupanya, ada sms masuk. Monica bangun dan duduk di tepi tempat tidur. Ia menyadari pipinya basah oleh linangan air mata. Setelah menyapu air mata dengan punggung tangannya, Monica membaca sms yang ternyata dari Randy, “Malam… Lagi ngapain?”.Monica tersenyum tipis. Randy memang selalu bisa membuatnya tersenyum dan Randy juga bisa membuat Monica selalu bahagia bila di dekatnya. Monica membalas sms itu. Sesaat, ia bisa melupakan kegalauan hatinya. Mengobrol bersama Randy membuatnya bisa melepas sejenak beban yang ia pikul. Tetapi, entah sinyal apa yang membuat Randy menyadari ada sesuatu yang tidak beres pada Monica. Dan benar saja. Monica sepertinya memang tidak pernah bisa menutupi apapun dari Randy. Akhirnya, Monica menceritakan semuanya. Segala kerisauan hatinya.
Esok paginya, Monica bangun dengan mata bengkak akibat menangis semalam sampai bantalnya basah seperti terkena tsunami, namun hatinya sudah terasa lebih baik. Bebannya sudah berkurang berkat saran Randy semalam. Monica segera bangkit dan bergegas mandi sesaat setelah ia mendengar tujuh kali dentingan jam dinding besar di ruang tengah. Rupanya Monica bangun kesiangan. Ia mandi sambil bersenandung pelan. Secercah harapan untuk memperbaiki semua yang hancur tumbuh dalam benaknya. Usai mandi, ia sarapan dan langsung pergi ke sebuah cafe langganannya menggunakan taksi.
Setibanya di cafe, ia memilih tempat di salah sudut. Tempat favoritnya dan sahabat-sahabatnya dulu kalau mereka makan di sini. Dari tempat itu, Monica bisa melihat pemandangan kebun bunga dari kaca yang dialiri air di sebelah kanannya. Benar-benar pemandangan yang terasa menyejukkan dan asri dipandang mata. Sahabat-sahabatnya belum ada yang datang. Tentu saja, karena sekarang jam tangan berbentuk bunga kuning di tangan kiri Monica baru menunjukkan pukul 9.30. Sedangkan mereka membuat janji untuk datang pada pukul 10.00. Monica memang sengaja datang lebih awal saking semangatnya. Ia juga tidak mau membiarkan sahabat-sahabatnya menunggu. Akhirnya, sembari menunggu sahabat-sahabatnya datang, Monica memutuskan untuk memesan minuman terlebih dahulu. Segelas cola dingin dengan es krim vanilla di atasnya, dilengkapi dengan hiasan payung di mulut gelas dan kembang api di samping gelas yang dinyalakan saat pelayan baru saja menyajikannya di meja. Benar-benar cara penyajian yang menarik. Itulah salah satu alasan Monica menyukai cafe itu. Selain itu, makanan dan minuman di sana juga lezat. Pemandangan dan penataan ruangannya juga bagus dengan interior bergaya pedesaan yang masih asri dan sejuk, namun modern. Sangat berbeda dengan cafe-cafe pada umumnya.
Monica mengucapkan terima kasih pada pelayan yang baru saja mengantarkan minumannya. Senyum manis di wajahnya masih mengembang ketika tiba-tiba Finza datang. Monica menyapanya dan mempersilahkannya duduk. Baru saja Monica akan membuka mulutnya untuk menawari Finza memesan minuman, tiba-tiba Mandy datang, disusul Ellina dan Rosy di belakangnya. Rupanya, tanpa sengaja mereka datang bersamaan. Monica segera menyambutnya dengan ceria. Setelah mereka duduk dan masing-masing memesan minuman, barulah Monica memulai pembicaraan.
Monica menanyakan seputar kabar sahabat-sahabatnya itu dan apa saja kesibukan mereka sekarang. Sahabat-sahabatnya sendiri menjawab dan saling bertukar cerita. Keadaan ini membuat Monica ingat pada kejadian setahun lalu, saat persahabatannya terasa sempurna.
Selang beberapa lama, Monica memberanikan diri untuk bertanya pada sahabat-sahabatnya tentang kegalauannya saat ini. Ia menarik nafas panjang dan berkata,”Aku benar-benar kangen saat-saat seperti ini. Saat-saat aku merasa persahabatan kita sangat sempurna. Setelah kita masuk SMA, aku merasa semuanya berubah. Tak kutemukan persahabatan yang kumiliki dulu. Bahkan, berkomunikasi saja tidak. Aku kangen kalian. Apa kalian masih menganggap persahabatan ini ada? Apa kalian masih menganggap aku sahabat kalian? Ataukah persahabatan itu sudah lenyap?”
Ellina, Rosy, Mandy, dan Finza tertegun. Mereka semua diam dan tak menyangka tujuan Monica mengajak berkumpul di sini adalah untuk menanyakan hal semacam itu. “Tentu saja kita masih sahabat.”, akhirnya Mandy angkat bicara memecah kesunyian selama beberapa detik itu. Monica tersenyum. Namun, dia melihat sorot keraguan dalam mata Mandy. Kemudian, Monica memandang satu persatu sahabatnya. Matanya seperti meminta persetujuan dari sahabatnya yang lain. “Iya, Mandy benar.”, Rosy akhirnya bersuara. Sedangkan Finza hanya tersenyum dan tiba-tiba ia berdiri. “Aku harus pergi sekarang. Ada janji lain. Sorry, ya…”, Finza berkata. “Lho, mau pergi? Tapi pembicaraan kita belum selesai. Kamu juga belum menjawab pertanyaanku.”, Monica berseru mencegah Finza pergi sambil berdiri. “Aku setuju sama apapun pendapat kalian.”, sahut Finza sambil memandang satu persatu sahabat-sahabatnya, lalu beranjak pergi.
Monica kaget Finza bersikap seperti itu. Ia sungguh tak menyangka. “Sudahlah, kita tetap sahabat, Mon. Tak perlu sedih seperti itu. Tidak perlu juga memikirkan sikap Finza barusan.”, Ellina berkata sambil mengelus punggung Monica yang duduk tepat di sebelah kirinya. Monica memaksakan senyum. Ia melihat Mandy menyeruput minumannya sambil membaca sms di handphone miliknya. Kemudian, “Aku harus pergi. Ada acara keluarga. Barusan mama sms. Katanya sudah ada di depan. Maaf.”, Mandy berkata. “Tapi…”, Monica berusaha mencegah. Namun, belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba, “Aku juga. Ada acara ekskul. Maaf, ya, semua.”, Rosy berkata. “Hah??”, Monica kaget. Apa maksud sahabat-sahabatnya ini? Mereka seperti berusaha menghindar dari pertanyaan Monica tadi. Pertanyaan tentang apakah mereka masih sahabat atau bukan.
Kini, tinggal Ellina yang tersisa. Air mata di pelupuk mata Monica seakan hampir tumpah. Namun, Monica berusaha menahannya. Ia melihat Ellina yang sepertinya sedang gelisah. “Kamu mau pergi juga?”, Monica bertanya. Ellina tidak menjawab dan hanya memandang Monica dengan sorot yang tidak enak. “Pergilah!”, Monica akhirnya berkata lirih. “Maafkan aku, Mon.”, Ellina menjawab sambil memeluk Monica, lalu ia pun pergi.
Tinggal Monica sendiri. Air matanya tak kuasa tumpah juga dari pelupuk matanya. Ia menunduk. Cukup lama ia terdiam. Kemudian, kepalanya terangkat, memandang keluar cafe. Ia agak kaget mendapati ternyata di luar hujan. Ia lalu mengambil handphone dalam tasnya dan mengetik sms untuk Randy. “Semuanya hancur”. Setelah mengirim sms itu, Monica segera keluar meninggalkan cafe.
Monica berjalan menembus hujan. Tak peduli badannya basah terguyur hujan deras. Ia terlalu frustasi dengan semua kenyataan yang dialaminya barusan. Sahabat-sahabatnya itu bukan lagi sahabat yang ia kenal. Mereka jahat. Mereka meninggalkan Monica dalam ketidakpastian dan tanpa kejelasan. Dalam pikiran Monica hanya satu hal yang jelas. Persahabatannya semu. Monica berjalan dengan pikiran yang melayang-layang. Ia tak begitu memperhatikan jalan yang ia lewati. Bahkan pandangannya pun rabun karena air mata yang menggenang di matanya. Sampai tiba-tiba bunyi rem berdecit, benturan keras, dan suaranya teriakannya sendiri mengagetkannya. Kemudian segalanya gelap.
Bau rumah sakit menusuk hidung Monica. Ia membuka mata dan mendapati dirinya terbaring di ranjang kamar rawat inap. Entah sudah berapa lama ia berada di sana. Kepalanya terasa berat dan pusing. Ia membuka mata lebih lebar dan melihat Randy sedang menggenggam tangan kirinya. Ia duduk dan tersenyum di tepi ranjang, kemudian berkata lembut, “Kamu sudah sadar?”. Monica memaksakan seulas senyum. Ia masih berusaha mengingat apa yang dialaminya sampai ia bisa berada di rumah sakit ini. Lalu, kejadian-kejadian di cafe bersama sahabat-sahabatnya itu berputar cepat di otaknya. Sampai saat ia berjalan menembus hujan deras dan suara rem mobil sedan hitam, benturan, dan teriakannya bercampur jadi satu. Ia tahu sekarang. Ia tertabrak mobil.
“Aku sudah tahu semua tentang sahabatmu. Jangan sedih lagi. Ada aku di sini.”, suara Randy membuyarkan lamunannya. Monica kaget mendengar apa yang dikatakan Randy. Seketika air matanya kembali tumpah. Ia jadi teringat apa yang dilakukan sahabat-sahabatnya. Randy bangkit dan segera memeluk orang yang sangat disayanginya itu. Randy mengelus punggung Monica yang bergetar karena menangis sesenggukan. “Sudahlah, masih ada pelangi setelah hujan, sayang.”, Randy kembali menenangkan Monica.
Masih dalam pelukan hangat Randy, Monica berkata dalam hati, “Randy benar. Masih ada pelangi setelah hujan. Fatamorgana persahabatan yang membawaku pada hujan deras yang menyakitkan akan segera berakhir dan berganti dengan pelangi yang indah. Aku percaya itu. Terima kasih, Randy.”